Ini kisah jaman jebot. Saya punya alergi terhadap debu, panas, stress, atau dengan kata lain, alergi terhadap hidup yang keras (itulah mengapa saya sangat menanti-nanti buku karangan Melanotmeli dengan judul "Tips How to Survive Bersekolah di LN edisi Anak Manja"). Setiap kali saya terekspos terhadap bibit-bibit alergi tersebut, kulit saya akan mengering, gatal-gatal, dan tidak enak dilihat. Saya sendiri sudah sangat terbiasa dengan hal ini, namun tidak demikian halnya dengan orang-orang lain. Seringkali orang bertanya-tanya tentang kejaiban rupa kulit yang tidak bisa dibilang mulus ini. Kadang-kadang saya merasa annoyed juga dengan pertanyaan-pertanyaan model begini, hingga akhirnya jawaban yang keluar pun sekenanya saja.
Sebutlah A (bukan nama sebenarnya, nama sebenarnya bisa Tono, Joni, atau Leonardo di Caprio), dia adalah teman SMP yang meskipun tidak satu kelas, tapi sering berjumpa dikarenakan kami sama-sama hobi makan bakso telor gurilem.
A: "Kulit kamu kenapa?"
HabsQ: "kenapa apanya?" *cuek*
A: "Kok brintil-brintil kasar begitu?"
HabsQ: "oh iya, biasa..."
A: "Biasa apa?" *mulai ngotot*
HabsQ: *ngga sabar* "hmmm... ya gitu deh... waktu kecil ngga ada apa2, tapi terus sempet tinggal deket reaktor nuklir. Tiap hari kena radiasi dalam jumlah cukup signifikan dan nggak pakai baju khusus. Akibatnya kulitnya bermutasi dan setiap tahun ganti kulit. Pas deket-deket minggu ini kayaknya waktu ganti kulitnya..." *ngasal abis*
A: (ternganga, speechless)
Sejak saat itu terjadi perubahan misterius pada A. Setiap kali bertemu, wajahnya tampak cemas dan raut mukanya menampakkan rasa kasihan yang mendalam... atau kekhawatiran terkena efek samping radiasi...
2 comments:
nice story!! :))
Hahaha, ihhh, habib jahat, ih. kasian, tauuuu =(
coba ntar kapan2 kalo reuni dipeluk, zu, lari ngga dia, hahahaha xP
Post a Comment