Sepakbola adalah salah satu hobi saya sejak kecil. Bersama saudara-saudara saya terutama adik saya yang satu ini, kami seringkali menghabiskan waktu untuk mempermainkan (kadang dipermainkan) si kulit bundar bersama. Sebagai penggemar sepakbola, kami tidak terlalu pilih-pilih soal lapangan. Kadang kami bermain di dalam rumah, di waktu lain di garasi rumah, atau di halaman. Biasanya pertandingan berakhir setelah partai sepakbola tidak bermutu yang kami mainkan memakan korban. Pagar rumah, kaca jendela, dan pot bunga adalah korban favorit kami. Tentu saja Ibu kami sering mencak-mencak dan menyuruh kami bermain di lapangan sepakbola sungguhan (yang kami terjemahkan sebagai instruksi untuk berhenti mengingat tidak ada lapangan sepakbola di kompleks rumah kami... oh, sedihnya jadi anak kota).
Hobi sepakbola ini jarang saya salurkan ke luar rumah, utamanya karena perasaan tidak pede dan merasa tidak jago. Badan yang pendek, fisik yang lemah, teknik yang memilukan, dan mental penakut adalah kombinasi terbaik untuk menghasilkan pesepakbola paling konyol yang pernah ada. Pertama kali saya melakoni pertandingan sepakbola di luar rumah adalah ketika saya menginjak kelas empat Sekolah Dasar. Semangat sepakbola total football (dimana ada bola, disitu semua pemain berkerumun dan saling menendang satu sama lain) membuat saya enggan untuk sering-sering mengejar bola. Satu-satunya aksi yang saya lakukan di pertandingan tersebut adalah sebuah tendangan super cantik yang menyebabkan bola masuk ke gawang sendiri.
Tidak banyak yang berubah ketika saya memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Daripada bermain bola di waktu pelajaran olahraga, saya lebih memilih untuk duduk-duduk di pinggir lapangan tanpa melakukan apa-apa. Sampai akhirnya suatu hari, seorang kawan mengajak saya untuk bermain bola di lapangan Saparua Bandung. Sebuah ajakan sinis memang, mengingat mengajak saya bermain bola tidak ubahnya seperti kucing mengajak tikus untuk sarapan bersama. Entah kenapa saya menyetujui saja tawaran tersebut, sekaligus membuat kawan tersebut terbengong-bengong tidak percaya. Sejak saat itulah karir sepakbola saya dimulai, sepakbola setiap hari minggu pun menjadi suatu keharusan. Sayangnya, bermain di lapangan Saparua secara rutin tidak serta-merta membuat saya jadi lebih jago. Hal ini memaksa seorang teman untuk berbaik hati memberikan saya saran agar bisa tampil lebih baik.
Teman yang baik hati dan gemar menabung (TYBHDGM): Saya tahu posisi terbaik buat kamu.
Saya: Apa? (Berbinar-binar)
TYBHDGM: Kamu harus bermain lebih ke kanan.
Saya: Tapi saya kan sudah di sayap kanan?
TYBHDGM: Ya. teruslah ke kanan lagi. Terus-terus... sampe ke luar lapangan.
Untungnya segala cacian dan makian yang saya terima masih belum cukup sadis untuk menyurutkan motivasi saya dalam bermain bola. Malah sebaliknya, keinginan untuk bermain sepakbola semakin menggebu-gebu, terutama ketika masuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Di SMA saya setiap tahun diadakan kompetisi sepakbola antarkelas. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk untuk memamerkan kehebatan saya dalam menggocek si kulit bundar. Ehm, maaf, tadi saya bilang apa? Selama dua tahun pertama bermain di kompetisi antarkelas, peran terbesar saya adalah sebagai pengangkut kardus botol Aqua. Satu-satunya orang yang senang dengan keikutsertaan saya di kompetisi antarkelas adalah tukang teh botol langganan yang selalu mangkal di pinggir lapangan. Nasib baik baru mulai menyapa ketika masuk ke kelas 3. Pengacakan kelas yang sensasional menyebabkan komposisi gender di kelas saya tidak merata dimana jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki (asiikkk... :P). Dari sembilan belas lelaki beruntung yang bercokol di kelas kami, hanya dua belas orang diantaranya yang menggemari sepakbola. Dan seperti sudah diatur nasib, setiap pertandingan di kompetisi antarkelas berlangsung, ada saja satu pemain yang tidak hadir... akibatnya, mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus terus-menerus berada di lapangan... hehehe...
Sebego-begonya saya main sepakbola, kalau terus menerus main dan mengikuti kompetisi akhirnya berkembang juga walaupun hanya sedikit saja. Ya, saya tekankan sekali lagi: sedikiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttttttt saja. Dengan bekal skill yang pas-pasan inilah saya bertekad akan melanjutkan karir sepakbola di masa kuliah. Untungnya, kesempatan menjadi pemain utama di tim angkatan dan jurusan cukup terbuka. Bukan karena saya yang jago, tapi karena kultur sepakbola di sana tidak sekental pada saat masih SMA. Pada masa kuliah pula ini tim sepakbola ceria HB202 -yang diberi kode serupa dengan mata kuliah- terbentuk. Latihan fisik pun sering saya jalani, kadang-kadang di bawah terik matahari siang hari yang dengan sukses menghitamkan kulit saya yang memang tidak putih. Tiga tahun berkarir di berbagai kejuaraan banyak menghasilkan memori yang tak terlupakan walaupun tidak bisa dibilang mengesankan, terutama karena tim kami lebih banyak dianiaya daripada sebaliknya.
Lulus dari kuliah tidak membuat ketertarikan saya terhadap sepakbola menurun, hanya saja saya semakin kesulitan untuk mencari rekan bertanding. Untuk menghadirkan kawan dan lawan tanding setiap minggunya diperlukan usaha yang cukup keras, mulai dari pengorbanan waktu, pulsa, ongkos, dan biaya sewa lapangan yang sering pura-pura dilupakan. Belum lagi karakter sejumlah pemain yang sering tidak bisa ditebak, janji untuk datang namun hingga waktu sewa berakhir tidak nampak sama sekali batang hidungnya. Namun dibalik itu semua, saya merasakan kemajuan yang cukup berarti dalam skill olah bola yang ujung-ujungnya meningkatkan rasa percaya diri di lapangan.
Suasana sepakbola yang lebih kondusif akhirnya saya rasakan ketika menempuh pendidikan S2 di Belanda. Lapangan yang bagus dan banyak tersedia, antusiasme tinggi dari para pemain sepakbola, dan kesempatan untuk bertanding dengan jago bola dari mancanegara membuat semangat bermain bola semakin meninggi. Peran saya sebagai pemain terkonyol di lapangan sepertinya (atau perasaan saya saja) sudah tidak valid lagi. Sejumlah penggemar pun rela antri untuk meminta tanda tangan dari saya... oke, kalimat terakhir itu bohong. Pengalaman bermain sepakbola di berbagai kondisi semakin banyak. Kalau sebelumnya lebih sering berkutat di masalah hujan dan kualitas lapangan yang buruk, di Belanda saya bermain bola di tengah badai, salju, maupun suhu super-dingin yang sama sekali tidak cocok untuk manusia-manusia yang berasal dari negara tropis.
Saat ini antusiasme sepakbola di komunitas kami memang tidak setinggi sebelumnya. Namun selama masih ada teman untuk bermain sepakbola maka saya akan terus bermain dan mengasah kemampuan saya dalam "merumput". Buat saya, sepakbola bukan hanya sekedar hobi, tapi sudah menjadi rasa yang sangat mendasar. Sama seperti rasa lapar, haus, maupun keinginan untuk ngupil... idih.
Catatan: tulisan ini diinspirasi oleh posting berjudul From Hero to Zero yang ditulis oleh seorang pemain berbakat yang sempat bermain bersama saya
Hobi sepakbola ini jarang saya salurkan ke luar rumah, utamanya karena perasaan tidak pede dan merasa tidak jago. Badan yang pendek, fisik yang lemah, teknik yang memilukan, dan mental penakut adalah kombinasi terbaik untuk menghasilkan pesepakbola paling konyol yang pernah ada. Pertama kali saya melakoni pertandingan sepakbola di luar rumah adalah ketika saya menginjak kelas empat Sekolah Dasar. Semangat sepakbola total football (dimana ada bola, disitu semua pemain berkerumun dan saling menendang satu sama lain) membuat saya enggan untuk sering-sering mengejar bola. Satu-satunya aksi yang saya lakukan di pertandingan tersebut adalah sebuah tendangan super cantik yang menyebabkan bola masuk ke gawang sendiri.
Tidak banyak yang berubah ketika saya memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Daripada bermain bola di waktu pelajaran olahraga, saya lebih memilih untuk duduk-duduk di pinggir lapangan tanpa melakukan apa-apa. Sampai akhirnya suatu hari, seorang kawan mengajak saya untuk bermain bola di lapangan Saparua Bandung. Sebuah ajakan sinis memang, mengingat mengajak saya bermain bola tidak ubahnya seperti kucing mengajak tikus untuk sarapan bersama. Entah kenapa saya menyetujui saja tawaran tersebut, sekaligus membuat kawan tersebut terbengong-bengong tidak percaya. Sejak saat itulah karir sepakbola saya dimulai, sepakbola setiap hari minggu pun menjadi suatu keharusan. Sayangnya, bermain di lapangan Saparua secara rutin tidak serta-merta membuat saya jadi lebih jago. Hal ini memaksa seorang teman untuk berbaik hati memberikan saya saran agar bisa tampil lebih baik.
Teman yang baik hati dan gemar menabung (TYBHDGM): Saya tahu posisi terbaik buat kamu.
Saya: Apa? (Berbinar-binar)
TYBHDGM: Kamu harus bermain lebih ke kanan.
Saya: Tapi saya kan sudah di sayap kanan?
TYBHDGM: Ya. teruslah ke kanan lagi. Terus-terus... sampe ke luar lapangan.
Untungnya segala cacian dan makian yang saya terima masih belum cukup sadis untuk menyurutkan motivasi saya dalam bermain bola. Malah sebaliknya, keinginan untuk bermain sepakbola semakin menggebu-gebu, terutama ketika masuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Di SMA saya setiap tahun diadakan kompetisi sepakbola antarkelas. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk untuk memamerkan kehebatan saya dalam menggocek si kulit bundar. Ehm, maaf, tadi saya bilang apa? Selama dua tahun pertama bermain di kompetisi antarkelas, peran terbesar saya adalah sebagai pengangkut kardus botol Aqua. Satu-satunya orang yang senang dengan keikutsertaan saya di kompetisi antarkelas adalah tukang teh botol langganan yang selalu mangkal di pinggir lapangan. Nasib baik baru mulai menyapa ketika masuk ke kelas 3. Pengacakan kelas yang sensasional menyebabkan komposisi gender di kelas saya tidak merata dimana jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki (asiikkk... :P). Dari sembilan belas lelaki beruntung yang bercokol di kelas kami, hanya dua belas orang diantaranya yang menggemari sepakbola. Dan seperti sudah diatur nasib, setiap pertandingan di kompetisi antarkelas berlangsung, ada saja satu pemain yang tidak hadir... akibatnya, mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus terus-menerus berada di lapangan... hehehe...
Sebego-begonya saya main sepakbola, kalau terus menerus main dan mengikuti kompetisi akhirnya berkembang juga walaupun hanya sedikit saja. Ya, saya tekankan sekali lagi: sedikiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttttttt saja. Dengan bekal skill yang pas-pasan inilah saya bertekad akan melanjutkan karir sepakbola di masa kuliah. Untungnya, kesempatan menjadi pemain utama di tim angkatan dan jurusan cukup terbuka. Bukan karena saya yang jago, tapi karena kultur sepakbola di sana tidak sekental pada saat masih SMA. Pada masa kuliah pula ini tim sepakbola ceria HB202 -yang diberi kode serupa dengan mata kuliah- terbentuk. Latihan fisik pun sering saya jalani, kadang-kadang di bawah terik matahari siang hari yang dengan sukses menghitamkan kulit saya yang memang tidak putih. Tiga tahun berkarir di berbagai kejuaraan banyak menghasilkan memori yang tak terlupakan walaupun tidak bisa dibilang mengesankan, terutama karena tim kami lebih banyak dianiaya daripada sebaliknya.
Lulus dari kuliah tidak membuat ketertarikan saya terhadap sepakbola menurun, hanya saja saya semakin kesulitan untuk mencari rekan bertanding. Untuk menghadirkan kawan dan lawan tanding setiap minggunya diperlukan usaha yang cukup keras, mulai dari pengorbanan waktu, pulsa, ongkos, dan biaya sewa lapangan yang sering pura-pura dilupakan. Belum lagi karakter sejumlah pemain yang sering tidak bisa ditebak, janji untuk datang namun hingga waktu sewa berakhir tidak nampak sama sekali batang hidungnya. Namun dibalik itu semua, saya merasakan kemajuan yang cukup berarti dalam skill olah bola yang ujung-ujungnya meningkatkan rasa percaya diri di lapangan.
Suasana sepakbola yang lebih kondusif akhirnya saya rasakan ketika menempuh pendidikan S2 di Belanda. Lapangan yang bagus dan banyak tersedia, antusiasme tinggi dari para pemain sepakbola, dan kesempatan untuk bertanding dengan jago bola dari mancanegara membuat semangat bermain bola semakin meninggi. Peran saya sebagai pemain terkonyol di lapangan sepertinya (atau perasaan saya saja) sudah tidak valid lagi. Sejumlah penggemar pun rela antri untuk meminta tanda tangan dari saya... oke, kalimat terakhir itu bohong. Pengalaman bermain sepakbola di berbagai kondisi semakin banyak. Kalau sebelumnya lebih sering berkutat di masalah hujan dan kualitas lapangan yang buruk, di Belanda saya bermain bola di tengah badai, salju, maupun suhu super-dingin yang sama sekali tidak cocok untuk manusia-manusia yang berasal dari negara tropis.
Saat ini antusiasme sepakbola di komunitas kami memang tidak setinggi sebelumnya. Namun selama masih ada teman untuk bermain sepakbola maka saya akan terus bermain dan mengasah kemampuan saya dalam "merumput". Buat saya, sepakbola bukan hanya sekedar hobi, tapi sudah menjadi rasa yang sangat mendasar. Sama seperti rasa lapar, haus, maupun keinginan untuk ngupil... idih.
Catatan: tulisan ini diinspirasi oleh posting berjudul From Hero to Zero yang ditulis oleh seorang pemain berbakat yang sempat bermain bersama saya
15 comments:
ketika saya Membaca kisah ini,,maka saya lgs teringat akan seseorang. huhuuh nice2
Rekan Habib,
Jangan khawatir, saya akan setia menemanimu berjibaku di lapangan, tak peduli lagi badai, hujan, salju....tapi kalo lagi ada exam, Ik absen dulu yah...apa lagi kalo pas sariawan, g bisa teriak minta bola...takut dimarahin pak kapten, kan beliau selalu bilang: "suara!, suara! suara!..."
Pemain sayap kanan jauuuhhh...
Spesbok 270
Keren euy postingannya... Mantab2...
BTW, emang Dabe dulu segitu gak pernah maennya ya jaman SD?
hihi ... ku promosiin post ini ke milis IF2K... ;))
Waaah...
Mas Habib,
Jadi pengen cerita juga perjalanan sepakbola saya dari SD. Jadi ngekhayal sendiri nginget2 masa lalu.. Hehe..
Tapi kayanya Mas Habib terlalu merendahkan diri niy, hehe.. Wah, dulu saya gagal dong memberi kesan waktu 2taun maen bareng di IF.
Tapi satu hal yg tiba2 jd pgn bgt, ngajak para IF 2000 ngadu lagi kaya jaman dulu.. Partai Klasik!
Kabarin dong mas kalo lg pd di Bandung, hehe..
Trus kaget terakhirnya ada blog saya dicantumin, hehe.. Makasih mas.. Sukses slaluu..
Hidup Sepakbola!
@Pak Bos: teringat akan siapa Pak Bos?
@Dwi: Terima kasih rekan Dwi. Tapi sampai sekarang saya masih sulit menerima sariawan sebagai alasan tidak main bola. Kalau panu masih bisa diterima lah...
@Zakka: Keren ya? Padahal itu tulisan pemain medioker, kalo pemain top pasti lebih keren lagi. Waktu SD pertama kali main ya itu, kelas 4 SD. Lawan tim Danda dan sukses mencetak gol bunuh diri dengan backheel (karena tendangan yang direncanakan meleset, dan waktu narik kaki kena bola sampe masuk gawang sendiri)
@Velly: woooo... makasih-makasih
@Hardani: Tulis donk Dan! Aku juga pengen baca petualangan sepakbolamu dari kecil. Waktu kita main di IF itu pengalaman tidak terlupakan kok... terutama waktu bisa sampe perempatfinal olimpiade dan saya diare... hehehehe... Hidup sepakbola!
seseorang dgn inisial H. hehehe seseorang yang begitu asik di marking , tutup ruang tembaknya oleh seorang defender sayap murni..... huhuhu
sayangnya defender tsb harus pulang kampung dulu,jadinya br bisa menjajal lagi nanti di bulan Agustus.
ngomong2 dr ttg paragraf ini :
Saat ini antusiasme sepakbola di komunitas kami memang tidak setinggi sebelumnya. Namun selama masih ada teman untuk bermain sepakbola maka saya akan terus bermain dan mengasah kemampuan saya dalam "merumput". Buat saya, sepakbola bukan hanya sekedar hobi, tapi sudah menjadi rasa yang sangat mendasar
tenang aja bib,,antusiasme tetep tinggi,,tapi waktu aja yang ga memberikan ijin,,,
hayooo semangat bola guyss
wakakakak... keren keren... lucu bgt
waaa *mata berkaca-kaca*
bikin komiknya bib! =D
@Semua: Terima kasih telah memberikan komentar
@Lite: Komik yah... mungkin kalo nanti jadi pengangguran deh ;)
itu bukan perempat final olimpiade mas, tapi HMT Cup.. yang di lap pasir kan? pdhal dah sukses menyingkirkan GD yah.. comeback dari 5-1 jadi 5-5, hehe... sayang ktmu Elektro kcepetan..
Ah iya, bukan olimpiade yah? Wah saya kok bisa lupa ya :P
Wah ternyata jadi pemain top sekelas Bung Habib butuh perjuangan keras ya hehe
Udah tambah jago aja nih Bib. Berkembang pesat nih selama di kampus. Skill nya yahud. Hebat euy. Coba dulu waktu kelas 3 skill-nya dikeluarin semua, kita bisa melaju ke final tuh. Comeback terbaik selama berkiprah di lapangan hijau (coklat kali ya..hehe..). Tertinggal 1-3 sampai 1 menit terakhir dengan kondisi pemain kurang satu, gara2 si Rio aneh2 aja mukul bola, akhirnya jadi 3-3. Sayang kalah adu penalti yah.
Aduh... malu deh tulisan dibaca sama master :">
Ah, saya mah ga ada apa-apanya dibandingin kamu hehehe, dulu juga bukannya nggak ngeluarin semua skill tapi emang cuma ada segitu :P Sayang emang comebacknya gak sempurna, padahal di Budi udah mantap gitu... eh, skornya tuh 3-3 apa 4-4?
Post a Comment