Hobi sepakbola ini jarang saya salurkan ke luar rumah, utamanya karena perasaan tidak pede dan merasa tidak jago. Badan yang pendek, fisik yang lemah, teknik yang memilukan, dan mental penakut adalah kombinasi terbaik untuk menghasilkan pesepakbola paling konyol yang pernah ada. Pertama kali saya melakoni pertandingan sepakbola di luar rumah adalah ketika saya menginjak kelas empat Sekolah Dasar. Semangat sepakbola total football (dimana ada bola, disitu semua pemain berkerumun dan saling menendang satu sama lain) membuat saya enggan untuk sering-sering mengejar bola. Satu-satunya aksi yang saya lakukan di pertandingan tersebut adalah sebuah tendangan super cantik yang menyebabkan bola masuk ke gawang sendiri.
Tidak banyak yang berubah ketika saya memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Daripada bermain bola di waktu pelajaran olahraga, saya lebih memilih untuk duduk-duduk di pinggir lapangan tanpa melakukan apa-apa. Sampai akhirnya suatu hari, seorang kawan mengajak saya untuk bermain bola di lapangan Saparua Bandung. Sebuah ajakan sinis memang, mengingat mengajak saya bermain bola tidak ubahnya seperti kucing mengajak tikus untuk sarapan bersama. Entah kenapa saya menyetujui saja tawaran tersebut, sekaligus membuat kawan tersebut terbengong-bengong tidak percaya. Sejak saat itulah karir sepakbola saya dimulai, sepakbola setiap hari minggu pun menjadi suatu keharusan. Sayangnya, bermain di lapangan Saparua secara rutin tidak serta-merta membuat saya jadi lebih jago. Hal ini memaksa seorang teman untuk berbaik hati memberikan saya saran agar bisa tampil lebih baik.
Teman yang baik hati dan gemar menabung (TYBHDGM): Saya tahu posisi terbaik buat kamu.
Saya: Apa? (Berbinar-binar)
TYBHDGM: Kamu harus bermain lebih ke kanan.
Saya: Tapi saya kan sudah di sayap kanan?
TYBHDGM: Ya. teruslah ke kanan lagi. Terus-terus... sampe ke luar lapangan.
Untungnya segala cacian dan makian yang saya terima masih belum cukup sadis untuk menyurutkan motivasi saya dalam bermain bola. Malah sebaliknya, keinginan untuk bermain sepakbola semakin menggebu-gebu, terutama ketika masuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Di SMA saya setiap tahun diadakan kompetisi sepakbola antarkelas. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk untuk memamerkan kehebatan saya dalam menggocek si kulit bundar. Ehm, maaf, tadi saya bilang apa? Selama dua tahun pertama bermain di kompetisi antarkelas, peran terbesar saya adalah sebagai pengangkut kardus botol Aqua. Satu-satunya orang yang senang dengan keikutsertaan saya di kompetisi antarkelas adalah tukang teh botol langganan yang selalu mangkal di pinggir lapangan. Nasib baik baru mulai menyapa ketika masuk ke kelas 3. Pengacakan kelas yang sensasional menyebabkan komposisi gender di kelas saya tidak merata dimana jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki (asiikkk... :P). Dari sembilan belas lelaki beruntung yang bercokol di kelas kami, hanya dua belas orang diantaranya yang menggemari sepakbola. Dan seperti sudah diatur nasib, setiap pertandingan di kompetisi antarkelas berlangsung, ada saja satu pemain yang tidak hadir... akibatnya, mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus terus-menerus berada di lapangan... hehehe...
Sebego-begonya saya main sepakbola, kalau terus menerus main dan mengikuti kompetisi akhirnya berkembang juga walaupun hanya sedikit saja. Ya, saya tekankan sekali lagi: sedikiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttttttt saja. Dengan bekal skill yang pas-pasan inilah saya bertekad akan melanjutkan karir sepakbola di masa kuliah. Untungnya, kesempatan menjadi pemain utama di tim angkatan dan jurusan cukup terbuka. Bukan karena saya yang jago, tapi karena kultur sepakbola di sana tidak sekental pada saat masih SMA. Pada masa kuliah pula ini tim sepakbola ceria HB202 -yang diberi kode serupa dengan mata kuliah- terbentuk. Latihan fisik pun sering saya jalani, kadang-kadang di bawah terik matahari siang hari yang dengan sukses menghitamkan kulit saya yang memang tidak putih. Tiga tahun berkarir di berbagai kejuaraan banyak menghasilkan memori yang tak terlupakan walaupun tidak bisa dibilang mengesankan, terutama karena tim kami lebih banyak dianiaya daripada sebaliknya.
Lulus dari kuliah tidak membuat ketertarikan saya terhadap sepakbola menurun, hanya saja saya semakin kesulitan untuk mencari rekan bertanding. Untuk menghadirkan kawan dan lawan tanding setiap minggunya diperlukan usaha yang cukup keras, mulai dari pengorbanan waktu, pulsa, ongkos, dan biaya sewa lapangan yang sering pura-pura dilupakan. Belum lagi karakter sejumlah pemain yang sering tidak bisa ditebak, janji untuk datang namun hingga waktu sewa berakhir tidak nampak sama sekali batang hidungnya. Namun dibalik itu semua, saya merasakan kemajuan yang cukup berarti dalam skill olah bola yang ujung-ujungnya meningkatkan rasa percaya diri di lapangan.
Suasana sepakbola yang lebih kondusif akhirnya saya rasakan ketika menempuh pendidikan S2 di Belanda. Lapangan yang bagus dan banyak tersedia, antusiasme tinggi dari para pemain sepakbola, dan kesempatan untuk bertanding dengan jago bola dari mancanegara membuat semangat bermain bola semakin meninggi. Peran saya sebagai pemain terkonyol di lapangan sepertinya (atau perasaan saya saja) sudah tidak valid lagi. Sejumlah penggemar pun rela antri untuk meminta tanda tangan dari saya... oke, kalimat terakhir itu bohong. Pengalaman bermain sepakbola di berbagai kondisi semakin banyak. Kalau sebelumnya lebih sering berkutat di masalah hujan dan kualitas lapangan yang buruk, di Belanda saya bermain bola di tengah badai, salju, maupun suhu super-dingin yang sama sekali tidak cocok untuk manusia-manusia yang berasal dari negara tropis.
Saat ini antusiasme sepakbola di komunitas kami memang tidak setinggi sebelumnya. Namun selama masih ada teman untuk bermain sepakbola maka saya akan terus bermain dan mengasah kemampuan saya dalam "merumput". Buat saya, sepakbola bukan hanya sekedar hobi, tapi sudah menjadi rasa yang sangat mendasar. Sama seperti rasa lapar, haus, maupun keinginan untuk ngupil... idih.
Catatan: tulisan ini diinspirasi oleh posting berjudul From Hero to Zero yang ditulis oleh seorang pemain berbakat yang sempat bermain bersama saya